Semalam, aku
menjenguk ayah temanku yang sedang terbaring sakit di rumah sakit. Ayahnya
mengalami penyakit komplikasi Stroke, Diabetes dan Jantung. Alhamdulillah
semalam keadaannya sudah cukup membaik setelah mengalami masa kritis dan telah
divonis oleh dokter tak ada harapan lagi. Butuh mental yang kuat bagiku untuk
bisa pergi ke tempat itu. Awalnya aku dan seorang teman tak punya planing untuk pergi ke sana. Kami hanya
keluar untuk mengambil bazar makanan. Sudah beberapa kali aku diajak pergi menjenguk,
tapi aku menolak. Rumah sakit itu, ruang ICCU Jantung Undata menyimpan begitu
banyak kenangan tentang ayah. Bagaimana saat – saat aku pertama kali harus melihat ayahku tak lagi
bernafas. Melihat tubuhnya telah terbaring kaku di atas tempat tidur dengan
wajah yang seolah hanya sedang tertidur lelap.
Sesampai di rumah
sakit, jantungku berdegup kencang. Entah perasaan apa
namanya. Tapi perasaan sedih, perih, kenangan saat – saat aku dan keluarga
menghabiskan waktu menjaga dan merawat ayah di ruangan ini terukir jelas kembali
di benakku. Aku bertemu Rini. Tampak wajahnya menunjukkan kelelahan yang masih
disertai senyum, seolah ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar
cerita Rini bagaimana ia dan keluarganya harus menghadapi ujian ini, ketika
detik-detik ayahnya mengalami kritis dan dinyatakan tak ada harapan untuk hidup
lagi, membuat mataku berkaca-kaca. Terselip rasa sedih di hatiku. Aku sangat
mengerti bagaimana perasaan Rini. Karena, aku juga pernah mengalami hal yang
serupa. Saat – saat di mana ketika ayahku sakit, tak bisa lagi bergerak seperti
mayat hidup dan berkata ia tak mampu lagi bertahan hidup. Namun kasih sayang
Allah, Dia masih memberikan ayahku kesempatan, Dia masih mengizinkan ayah
berkumpul bersama kami.
Rini mengajakku
masuk ke dalam ruangan pasien. Aku masih merasa enggan untuk masuk. Aku
khawatir jika tangisku meledak. Namun, ada keinginan untuk bisa melihat kondisi
ayah Rini. Akhirnya, aku memutuskan untuk masuk. Ayahnya berada di bilik
ketiga, bilik tempat pertama kali ayahku dulu dirujuk ke ruangan ICCU ini. Kondisi ayahnya
sangat memprihatinkan. Penyakit stroke yang menyerangnya, membuat sebagian
tubuhnya kaku tak bisa lagi bergerak. Untuk berbicara saja pun sangat sulit.
Bahkan untuk makan dan minum hanya dibantu melalui alat yang dihubungkan ke
hidung. Aku yang melihat Rini dan adiknya Kartika dengan sabar merawat ayahnya
saat itu membuatku benar-benar tak mampu menahan air mataku. Rasa sedih melihat
kondisi mereka, bercampur ingatan saat bagaimana setahun yang lalu aku juga
berada di posisi mereka. Merawat ayahku yang sedang sakit, terbaring lemah tak
berdaya. Melihat wajah ayah Rini seakan kembali mengingatkanku pada wajah ayah.
Hati anak mana
yang tak akan terasa perih bila harus melihat ayah mereka terbaring sakit lemah
tak berdaya seperti itu. Ayah yang dulunya nampak bagaikan superhero bagi
keluarganya. Melindungi dan menjaga istri serta anak-anaknya. Bekerja keras
dari pagi hingga petang hanya untuk menafkahi keluarganya. Mulut yang
senantiasa memberikan nasehat dan kadang harus memarahi ketika anak-anaknya
bandel tak mendengarkan nasehatnya. Semua itu kini telah hilang oleh masa. Masa
di mana kitalah yang berbalik menjadi superhero bagi ayah. Melindungi dan
menjaganya sepanjang hari, dan memberikan semangat kepada sang ayah agar bisa
segera sembuh.
Air mataku jatuh
menetes. Aku pamit keluar dari ruangan. Teman-teman yang melihatku mencoba
menenangkanku. Seperti inilah perasaanku. Sangat sensitif. Aku menangis karena
aku pernah melewati dan merasakan bagaimana masa-masa sulit itu. Masa – masa aku
harus kehilangan ayahku untuk selamanya. Masa yang membuat pikiranku terbuka
bahwa ternyata aku bukan anak-anak kecil lagi. Masa yang membuatku harus bisa
bersikap dewasa. Masa yang mengajarkanku betapa penting arti sebuah kesabaran
dan keikhlasan. Dan masa yang semakin menyadarkanku tentang kematian. Akan
dibawa kemana hidup ini ???
Waktu telah
menunjukkan hampir pukul 22.00 WITA. Aku dan teman-teman lain berpamitan untuk
pulang. Cipika cipiki dan sebuah
pelukan mengakhiri pertemuanku dan Rini malam itu. Tak banyak kata yang bisa
aku ucapkan, selain kata “sabar” padanya.
Teruntuk
Saudariku Rini dan Kartika,,,
Semoga Allah
senantiasa melimpahkan kasih sayang dan pertolongannya kepada ayahmu.
Tidaklah musibah
ini datang sebagai bentuk kasih sayangnya kepada kalian. Jika Allah mencintai
suatu kaum, maka Ia akan mengujinya.
Semoga rasa sakit
yang ayahmu derita sebagai penawar dosa beliau.
Percayalah, tak
ada kejadian sekecil apapun melainkan telah diatur oleh Allah SWT.
Bersabarlah,
karena Allah pasti akan menggantikan badai ini dengan pelangi yang indah.
Kadang kita
merasa tak sanggup, merasa berat dengan apa yang kita alami, tapi yakinlah,
Allah lebih mengetahui kapasitas kita, yang terbaik buat kita.
Semoga ketakwaan,
kesabaran dan keikhlasan selalu menghiasi hati kalian sekeluarga.
Ana Uhibbukifillah,,,
Ayah kalian adalah ayah kami juga,,,
Karena kita adalah satu ikatan, ukhuwah islamiyah,,,
Semoga Ayahmu bisa lekas sembuh,,,
Palu, 16 Maret 2013