Senin, 23 April 2012

Kehilangan :( (Bagian I)

        Jum'at 30 Maret 2012, pukul 11.15 WITA aku tidak pernah menyangka bahwa hari itu Tuhan akan mengambil Ayahku untuk selama - lamanya menghadap kepada-Nya. Bagaikan disambar petir di siang bolong ketika aku mendengar berita itu. Kepergian ayah terasa begitu cepat dan mendadak. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiranku karena baru kemarin lusa ayah balik dari Jakarta.
Jum'at tanggal 23 Maret 2012,, aku dan ibu mengantar ayah dan kakakku yang akan berangkat ke Jakarta untuk keperluan mengurus surat - surat pengalihan plat mobil dan tes persiapan untuk melanjutkan S2 di bandara Mutiara Palu diantar oleh omku. Sejak saat itu, sikap ayah memang terlihat sedikit aneh. Tak seperti biasanya ayah pergi keluar kota berpamitan pada Ibunya (nenekku), apalagi ayah pergi hanya selama 5 hari. Sebelum ke bandara kami mampir ke rumah nenek. Setiba di bandara, ayah langsung turun dari mobil tanpa menengok dan berbicara sedikitpun pada kami, langsung berjalan memasuki ruang check in. Kemudian kakakku menyusul ayah. Aku dan ibu yang tidak diperbolehkan masuk, hanya menunggu di luar. Aku melihat papan jadwal keberangkatan, pesawat ayah masih sekitar 1 jam lagi akan berangkat. Aku dan ibu masih terus menunggu di luar, berpikir bahwa ayah masih akan keluar untuk berpamitan pada kami. Dan ternyata hanya kakakku yang keluar. Ayah hanya berpamitan pada ibu melalui telepon. Aku pun berpikir mungkin ayah kelelahan harus keluar masuk ruangan. Ada sedikit perasaan sedih di hatiku, namun aku mencoba membuangnya. Itu adalah hari terakhir dimana aku melihat ayah dalam kondisi sehat wal 'afiat.
Rabu, 28 Maret 2012, pukul 11.00 WITA ayah dan kakakku kembali ke Palu. Kakak meminta kami untuk menjemputnya dan berjaga di pintu keluar, karena kondisi ayah yang sedang kurang sehat. Ayah hanya mengeluh buang - buang air besar.
Aku, ibu dan adikku diantar oleh omku pergi menjemput mereka di bandara. Akhirnya tampak ayah berjalan dari arah dalam, ayah hanya menatap aku dan ibu sebentar lalu membuang pandangannya tanpa berkata apa - apa. Aku dan ibu berjalan menuju ke ayah, lalu aku merangkul dan memegang tangan kirinya sedangkan ibu di sebelah kanan ayah. Tak seperti biasanya, malam itu aku merangkul dan memegang ayah dengan erat. Ada terselip perasaan sedih melihat kondisi ayah. Kami mengantarnya ke mobil.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku masih mendengar ayah tertawa saat berbicara dengan omku melalui telepon dan mengatakan bahwa ia baik - baik saja. Tak hanya itu, ayah masih ikut nimbrung bercerita tentang pengalaman di Jakarta dengan aku ibu dan kakak. Perasaanku menjadi sedikit lega. Namun aku tak menyangka bahwa itu adalah candaan terakhir kami bersama - sama.
Sesampai di rumah, ayah makan dan langsung beristirahat di kamar.
Hari Kamis, aku yang kebetulan hari itu tidak ada jadwal mata kuliah hanya berada di rumah mencuci pakaian. Hari itu ibu izin tidak masuk kerja karena kondisi ayah yang sedang kurang sehat. Sore hari, aku mendengar keluhan ibu mengenai sakit ayah. Ayah hanya mengeluh perutnya terasa sakit seperti teriris- iris. Jantungnya dalam keadaan baik - baik saja. Ibu tak berani memberikan sembarangan obat, khawatir jika itu akan memberikan efek pada jantung ayah. Melihat kondisi ayah yang semakin lemah, membuat kami berpikir bahwa mungkin ayah kekurangan cairan akibat terlalu banyak buang air, apalagi kotoran ayah yang keluar adalah cairan darah. Aku pun menyarankan pada ibu agar membawa ayah check up ke dokter jantung ayah. Sore itu adalah terakhir aku melihat ayah masih dalam kondisi bernyawa.
Sejak pagi itu, aku mulai merasakan perasaan yang lain. Hampir setiap menit, aku melihat ke kamar ayah dan melihat sosok itu. Ayah nampak tertidur pulas dengan wajah yang tenang. Aku pun berpikir, mungkin ini hanya sakit biasa. Bagi keluarga kami, kondisi ayah yang sakit dan keluar masuk rumah sakit hingga berminggu - minggu bahkan berbulan - bulan sudah menjadi hal yang biasa.
Malam harinya, aku berpamitan pada ibu pergi les. Yang aku tahu, ayah hanya akan dibawa check up ke dokter. Setiba di rumah pukul 10.00, ternyata ayah, ibu dan kakakku belum pulang. Aku hanya mendapati adikku dan temannya. Sambil mengerjakan tugas kampus, aku melirik ke jam dan waktu pun telah menunjukkan pukul 11.00 malam. Aku pun mengirimkan sms pada kakakku.
 " Dimana ? " 
" Di RS undata ".
" Kenapa ? tidak jadi ke dokter ?"
" Dokter rujuk ke rumah sakit "
" Kenapa bisa ?"
" Tekanan darahnya papa rendah sekali "
Entah kenapa malam itu aku tiba - tiba menangis tersedu - sedu, sungguh perasaanku benar - benar sedih melihat kondisi ayah. Padahal sebelumnya, aku sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Aku beristighfar, dan mencoba menenangkan hatiku. Insya Allah semuanya akan baik - baik saja wi.
Keesokan paginya, kakak dan adikku pergi ke rumah sakit. Sedangkan aku ke kampus karena ada jadwal mata kuliah jam 8 pagi. Rencananya sepulang kampus aku akan menjenguk ayah di rumah sakit. Seusai mata kuliah, aku bermaksud makan di kantin terlebih dahulu lalu mengisi mentoring untuk anak - anak binaanku. Baru saja makanan dipesan, tiba - tiba handphoneku berbunyi. Kakakku memanggil, aku mencari tempat sepi, lalu berbicara padanya.
" Wi dimana ? Ke rumah sakit dulu, papa sudah gawat sekali."
" Kenapa papa wan ?"
" Kemari saja cepat ! "
Aku menutup telephone, seluruh tubuhku gemetar dan rasanya seperti remuk. Aku tahu, kondisi ayah pasti benar - benar kritis di sana, tak pernah aku mendengar kakak menangis seperti itu. Aku pun berpikir, aku akan mendapati ayahku sedang berjuang sakaratul maut ataukah aku akan menemukannya telah pergi untuk selama - lamanya. Air mataku terus mengalir. Dengan diantar teman - temanku, aku tiba di rumah sakit undata palu, ruang ICCU jantung. Baru tiba di halaman rumah sakit aku sudah mendapati om dan tanteku menangis sejadi-jadinya, Ya Allah,,,, papaku,,,, Aku seakan tak punya nyali dan kekuatan untuk berjalan, namun aku mencoba sekuat tenaga menguatkan hatiku. Aku berjalan cepat memasuki ruangan, dan benar, aku hanya mendapati jenazah ayahku yang telah terbaring kaku ditutupi dengan kain. Aku melihat kakak, ibu dan adikku menangis lemah tak berdaya di lantai. Aku memeluk ayah,,, dan membuka selimut itu. Menatap wajah ayah, aku sekan tak percaya bahwa ayah telah pergi, ayah hanya nampak seperti sedang tidur.
Kemudian aku merangkul ibu, kakak dan adikku. Aku tak mampu berkata - kata lagi dan hanya bisa mengatakan kita harus sabar. Jika hanya mengikuti emosi, mungkin aku juga akan jatuh pingsan. Namun melihat kondisi keluargaku, aku pun harus kuat, Jika aku lemah, siapa yang akan membantu dan mengurus persiapan proses pemakaman ayah. Dan ini adalah pelayanan terakhirku untuk ayah sebelum beliau akan ditempatkan di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Aku pulang ke rumah, dengan dibantu para tetangga dan keluarga besar ayah, kami mempersiapkan ruangan untuk menyambut kedatangan jenazah ayah. Para keluarga, teman - teman, masyarakat silih berganti datang melayat. Sekitar pukul 14.00, jenazah ayah tiba di rumah....disambut tangisan para keluarga dan kerabat beliau. Ibu yang lagi - lagi harus jatuh pingsan dan aku pun harus bantu menguatkannya.
Seperti mimpi rasanya, tapi inilah takdir Tuhan,,, kita tidak bisa berbuat apa - apa.
Karena sesungguhnya, semua yang bernyawa pasti akan kembali kepada-Nya.