Sabtu, 16 Maret 2013

Teruntuk Saudariku,,,


    Semalam, aku menjenguk ayah temanku yang sedang terbaring sakit di rumah sakit. Ayahnya mengalami penyakit komplikasi Stroke, Diabetes dan Jantung. Alhamdulillah semalam keadaannya sudah cukup membaik setelah mengalami masa kritis dan telah divonis oleh dokter tak ada harapan lagi. Butuh mental yang kuat bagiku untuk bisa pergi ke tempat itu. Awalnya aku dan seorang teman tak punya planing untuk pergi ke sana. Kami hanya keluar untuk mengambil bazar makanan. Sudah beberapa kali aku diajak pergi menjenguk, tapi aku menolak. Rumah sakit itu, ruang ICCU Jantung Undata menyimpan begitu banyak kenangan tentang ayah. Bagaimana saat – saat  aku pertama kali harus melihat ayahku tak lagi bernafas. Melihat tubuhnya telah terbaring kaku di atas tempat tidur dengan wajah yang seolah hanya sedang tertidur lelap.
    Sesampai di rumah sakit, jantungku berdegup kencang. Entah perasaan apa namanya. Tapi perasaan sedih, perih, kenangan saat – saat aku dan keluarga menghabiskan waktu menjaga dan merawat ayah di ruangan ini terukir jelas kembali di benakku. Aku bertemu Rini. Tampak wajahnya menunjukkan kelelahan yang masih disertai senyum, seolah ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar cerita Rini bagaimana ia dan keluarganya harus menghadapi ujian ini, ketika detik-detik ayahnya mengalami kritis dan dinyatakan tak ada harapan untuk hidup lagi, membuat mataku berkaca-kaca. Terselip rasa sedih di hatiku. Aku sangat mengerti bagaimana perasaan Rini. Karena, aku juga pernah mengalami hal yang serupa. Saat – saat di mana ketika ayahku sakit, tak bisa lagi bergerak seperti mayat hidup dan berkata ia tak mampu lagi bertahan hidup. Namun kasih sayang Allah, Dia masih memberikan ayahku kesempatan, Dia masih mengizinkan ayah berkumpul bersama kami.
     Rini mengajakku masuk ke dalam ruangan pasien. Aku masih merasa enggan untuk masuk. Aku khawatir jika tangisku meledak. Namun, ada keinginan untuk bisa melihat kondisi ayah Rini. Akhirnya, aku memutuskan untuk masuk. Ayahnya berada di bilik ketiga, bilik tempat pertama kali ayahku dulu dirujuk ke ruangan ICCU ini. Kondisi ayahnya sangat memprihatinkan. Penyakit stroke yang menyerangnya, membuat sebagian tubuhnya kaku tak bisa lagi bergerak. Untuk berbicara saja pun sangat sulit. Bahkan untuk makan dan minum hanya dibantu melalui alat yang dihubungkan ke hidung. Aku yang melihat Rini dan adiknya Kartika dengan sabar merawat ayahnya saat itu membuatku benar-benar tak mampu menahan air mataku. Rasa sedih melihat kondisi mereka, bercampur ingatan saat bagaimana setahun yang lalu aku juga berada di posisi mereka. Merawat ayahku yang sedang sakit, terbaring lemah tak berdaya. Melihat wajah ayah Rini seakan kembali mengingatkanku pada wajah ayah.
     Hati anak mana yang tak akan terasa perih bila harus melihat ayah mereka terbaring sakit lemah tak berdaya seperti itu. Ayah yang dulunya nampak bagaikan superhero bagi keluarganya. Melindungi dan menjaga istri serta anak-anaknya. Bekerja keras dari pagi hingga petang hanya untuk menafkahi keluarganya. Mulut yang senantiasa memberikan nasehat dan kadang harus memarahi ketika anak-anaknya bandel tak mendengarkan nasehatnya. Semua itu kini telah hilang oleh masa. Masa di mana kitalah yang berbalik menjadi superhero bagi ayah. Melindungi dan menjaganya sepanjang hari, dan memberikan semangat kepada sang ayah agar bisa segera sembuh.
     Air mataku jatuh menetes. Aku pamit keluar dari ruangan. Teman-teman yang melihatku mencoba menenangkanku. Seperti inilah perasaanku. Sangat sensitif. Aku menangis karena aku pernah melewati dan merasakan bagaimana masa-masa sulit itu. Masa – masa aku harus kehilangan ayahku untuk selamanya. Masa yang membuat pikiranku terbuka bahwa ternyata aku bukan anak-anak kecil lagi. Masa yang membuatku harus bisa bersikap dewasa. Masa yang mengajarkanku betapa penting arti sebuah kesabaran dan keikhlasan. Dan masa yang semakin menyadarkanku tentang kematian. Akan dibawa kemana hidup ini ???
     Waktu telah menunjukkan hampir pukul 22.00 WITA. Aku dan teman-teman lain berpamitan untuk pulang. Cipika cipiki dan sebuah pelukan mengakhiri pertemuanku dan Rini malam itu. Tak banyak kata yang bisa aku ucapkan, selain kata “sabar” padanya.

Teruntuk Saudariku Rini dan Kartika,,,
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang dan pertolongannya kepada ayahmu.
Tidaklah musibah ini datang sebagai bentuk kasih sayangnya kepada kalian. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Ia akan mengujinya.
Semoga rasa sakit yang ayahmu derita sebagai penawar dosa beliau.
Percayalah, tak ada kejadian sekecil apapun melainkan telah diatur oleh Allah SWT.
Bersabarlah, karena Allah pasti akan menggantikan badai ini dengan pelangi yang indah.
Kadang kita merasa tak sanggup, merasa berat dengan apa yang kita alami, tapi yakinlah, Allah lebih mengetahui kapasitas kita, yang terbaik buat kita.
Semoga ketakwaan, kesabaran dan keikhlasan selalu menghiasi hati kalian sekeluarga.
Ana Uhibbukifillah,,,
Ayah kalian adalah ayah kami juga,,,
Karena kita adalah satu ikatan, ukhuwah islamiyah,,,
Semoga Ayahmu bisa lekas sembuh,,,

Palu, 16 Maret 2013